Kamis, 07 November 2013

KASUS PENIPUAN INVESTASI

Beberapa hari terakhir ini di media-media baik cetak maupun elektronik, sedang ramai dibicarakan kasus dugaan penipuan investasi oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS), dengan perkiraan nilai kerugian nasabah hingga Rp600 milyar, tapi ada juga yang bilang hingga Rp10 trilyun. Manapun yang benar, tetap saja itu adalah jumlah kerugian yang tidak sedikit. Namun kasus ini adalah yang kesekian kalinya terjadi di negeri ini, dengan modus yang selalu sama: Penipuan berkedok investasi dengan iming-iming keuntungan besar dalam waktu singkat. Nah, actually kasus ini tidak berkaitan langsung dengan investasi kita di saham, tentu saja, namun penulis kira tetap penting untuk dibahas untuk memberikan informasi kepada masyarakat yang mungkin masih awam tentang apa itu investasi.

GTIS dulunya merupakan perusahaan jual beli emas biasa dengan nama PT Golden Traders Indonesia (GTI). Pada tahun 2011, perusahaan menambahkan kata ‘Syariah’ di belakang namanya, sehingga berubah menjadi PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). Di tahun ini pula, perusahaan (mengaku) memperoleh sertifikat ‘telah memenuhi prinsip syariah’ dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berbekal klaim bahwa usahanya ‘halal dan islami’, GTIS kemudian memasarkan produk investasinya melalui berbagai media, terutama melalui sistem referral yaitu setiap nasabah akan diminta untuk mencari nasabah lagi (kurang lebih seperti sistem Multilevel Marketing alias MLM). Dalam tempo singkat yakni hanya 2 tahun, perusahaan ini berkembang sangat pesat dan berhasil mendirikan tiga belas kantor yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Dalam setiap promosinya, GTIS memiliki tagline yang sangat menarik: ‘Udah gak jaman investasi emas hanya mengandalkan fluktuasi harga. Nikmati
 kepastian keuntungan sebesar 2% setiap bulan hanya di Golden Traders Indonesia’.

Kepastian keuntungan? Are you out of mind? Sejak kapan ada investasi yang mampu menjamin bahwa investasi tersebut pasti untung tanpa memaparkan risikonya sama sekali?

Kembali ke GTIS. GTIS menawarkan produk investasi berupa pembelian emas, baik fisik maupun hanya berupa sertifikat, dengan tawaran keuntungan sebesar 2 – 4.5% per bulan, dibayarkan secara tunai.  Jadi kalau anda beli produk investasinya senilai Rp100 juta, misalnya, maka setiap bulan anda akan menerima bunga, atau bonus, atau apapun itu namanya, sebesar Rp2 – 4.5 juta, ditransfer langsung ke rekening bank anda. Produk investasi ini dijamin dengan surat perjanjian buy back guarantee, dimana pihak GTIS akan membeli kembali emas yang dipegang nasabah dengan harga yang sama dengan harga pembelian. So, katakanlah anda membeli emas dari GTIS senilai Rp100 juta. Maka dalam setahun, anda akan memperoleh bunga minimal Rp2 juta x 12 bulan = Rp24 juta, dan setelahnya anda bisa menjual emas yang anda pegang kepada GTIS, untuk memperoleh modal anda kembali yang sebesar Rp100 juta tadi. Well, dapet keuntungan minimal 24%, dan tanpa risiko pula, karena emas yang anda pegang dijamin akan bisa dibeli kembali oleh pihak GTIS. Jadi ‘investasi’ ini kurang menarik apa lagi coba?

Namun ada beberapa hal yang menarik seputar ‘produk investasi’ yang ditawarkan GTIS ini:

Satu. Nasabah harus membeli emas yang dijual GTIS pada harga yang lebih tinggi ketimbang harga emas pasaran, dengan selisih harga sekitar 20 – 30%. Artinya jika harga emas di pasaran adalah Rp500,000 per gram, maka nasabah harus membayar Rp600 – 650,000 untuk setiap gram emas yang mereka peroleh. Tidak ada keterangan dari pihak GTIS soal kenapa harga emas yang mereka jual lebih tinggi. Biasanya mereka (melalui agen-nya) hanya mengatakan bahwa meski harga emas yang mereka jual lebih tinggi, namun nasabah tidak perlu khawatir, karena nanti toh GTIS akan membeli kembali emas tersebut pada harga yang sama, bahkan kalau harga pasaran emas ternyata turun. Selain itu si agen biasanya menambahkan bahwa harga emas akan naik terus, sehingga si nasabah tidak mungkin rugi (jadi sekali lagi, risiko investasinya nol!)

Dua. Tidak ada keterangan dari mana pihak GTIS memperoleh dana untuk membayar bunga bagi para nasabahnya. Berdasarkan informasi yang dihimpun Kontan.co.id, GTIS mengaku bahwa mereka membeli emas dengan harga murah dari UBS (Untung Bersama Sejahtera) dan menjualnya di Singapura dengan harga tinggi. Keuntungan dari selisih harga itulah yang kemudian dipakai untuk membayar bunga kepada para nasabah. Tapi tidak ada keterangan lebih lanjut soal siapa itu UBS, dan di Singapura sebelah mana mereka jualan emas.

Tiga. Nasabah hanya bisa membeli produk melalui agen. Agen ini biasanya merupakan nasabah GTIS juga, dan ia memperoleh komisi untuk setiap nasabah baru yang ia bawa. Alhasil jika anda bergabung untuk menjadi nasabah, maka anda sekaligus akan menjadi agen, dan anda bisa memperoleh keuntungan tambahan berupa komisi tadi. Tapi kalaupun anda tidak memperoleh nasabah, maka itu tidak jadi masalah.

Nah, dari ketiga poin diatas, apa yang bisa anda simpulkan? Benar sekali. GTIS ini menjalankan Skema Ponzi (Ponzi Scheme). Skema Ponzi adalah sistem investasi palsu dimana perusahaan investasi membayar keuntungan/bunga kepada investor dari uang si investor itu sendiri, atau dari uang investor berikutnya. Dikatakan palsu, karena dana yang dihimpun dari investor tidak pernah digunakan untuk membiayai usaha tertentu untuk menghasilkan keuntungan. Biasanya investasi ini menawarkan keuntungan yang luar biasa dalam waktu singkat dengan risiko yang sangat rendah, atau bahkan risikonya nol. Biasanya pula, si investor atau nasabah akan menerima pembayaran bunga secara rutin selama beberapa waktu, sehingga ia kemudian merasa tidak ada masalah sama sekali, atau bahkan menambah kembali investasinya. Tapi setelah ia menyetor seluruh dana yang ia miliki, dan juga sudah membawa banyak nasabah baru, maka barulah timbul masalah, mulai dari macetnya pembayaran bunga, hingga modal yang ternyata tidak bisa ditarik kembali.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB-tQyEKhf7Dz7DnTeKrF7Ay4LmuE3IcYqbmf1l3D_nnT8tTfQra0ZYeg06yneEVBv2dnFrbnx9Sq1YcH8LncZIov4JxBXZ8vm3Jf-I0JZS6CQNDTJtTNvQC8emhXGKgPbYXodi3wqmKQ/s400/Ponzi.jpg
Charles Ponzi, pencipta skema Ponzi sekaligus inspirator bagi para bandi-bandit penipu
di seluruh dunia. Gambar diambil dari situs Wikipedia

Ending dari kejadian seperti ini biasanya berupa lenyapnya modal yang ditanamkan para nasabah, karena dilarikan oleh Direktur atau siapapun dari perusahaan investasi (atau koperasi, atau apapun namanya) yang bersangkutan. Penjahat paling terkenal dari kasus penipuan seperti ini adalah Bernard Madoff, mantan Chairman Bursa NASDAQ, dan saat ini sudah dipenjara dengan masa hukuman 150 tahun.

Sementara di Indonesia, penipuan Skema Ponzi ini bukan kasus baru, melainkan sudah terjadi berulang kali hanya dengan kemasan yang berbeda-beda. Sebut saja Tambang Emas Busang, Qurnia Subur Alam Raya, Dressel, VGMC, Koperasi Langit Biru, Raihan, hingga GTIS. Dalam kasus GTIS, ‘kemasan’ tersebut adalah investasi emas. Bunga yang dibayarkan kepada si nasabah berasal dari selisih harga emas yang lebih tinggi dibanding harga pasaran tadi.

Definisi Investasi

Dalam beberapa kali kesempatan seminar, penulis selalu memaparkan kepada peserta mengenai definisi dari investasi. Simpelnya, investasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis:

Satu, investasi pada aset tetap. Yang dimaksud dengan aset tetap adalah aset yang harganya terus meningkat untuk menyesuaikan diri dengan inflasi, namun nilai dari aset itu sendiri sebenarnya tidak banyak berubah kecuali sedikit. Contohnya anda membeli tanah kosong seluas 1 hektar dengan harapan bahwa harganya akan naik dalam beberapa waktu kedepan. Sejatinya, nilai dari tanah tersebut tidak akan naik, terutama jika tidak dilakukan pengembangan (dibuat bangunan diatasnya, dll). Namun jika anda beli tanah tersebut pada tahun 1990 pada harga Rp100 juta, misalnya, maka harganya pada hari ini tidak mungkin masih Rp100 juta juga, melainkan mungkin sudah milyaran.

Dalam definisi investasi yang lebih sempit, maka tindakan investasi dengan cara membeli tanah diatas tidak bisa disebut sebagai investasi, melainkan lebih merupakan tindakan melindungi mata uang dari inflasi. Jika tanah yang bersangkutan dikembangkan menjadi rumah kontrakan, misalnya, dan rumah kontrakan tersebut memberikan keuntungan berupa uang sewa setiap bulannya, maka itu baru bisa disebut sebagai investasi, karena aset tanah/rumah kontrakan tersebut kini memberikan ‘dividen’ berupa uang sewa bulanan tadi. But still, inipun belum merupakan ‘investasi penuh’, karena tidak menawarkan kenaikan nilai aset (jumlah kamar kontrakan tidak akan bertambah), kecuali jika anda secara rutin membangun kamar kontrakan yang baru.

Lalu yang kedua, investasi pada aset bertumbuh. Jika anda membeli kambing untuk diternakkan (tentunya setelah anda menunjuk peternak yang handal), maka itu bisa disebut sebagai investasi pada aset bertumbuh, karena jumlah kambing anda akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu (beranak pinak). Investasi seperti inilah yang menurut penulis bisa disebut sebagai The Real Investment, karena memberikan dua macam keuntungan yakni: Dividen (setiap kali anda memperoleh uang dari penjualan seekor kambing), dan kenaikan nilai aset (jumlah kambing anda akan terus bertambah). Tidak perlu lagi ditanyakan keuntungan dari kenaikan harga aset, karena harga jual dari kambing anda akan terus naik setiap tahun (ini pengalaman penulis sendiri setiap kali nyari kambing buat merayakan Idul Adha).

Meski demikian investasi anda pada usaha ternak kambing tersebut mengandung beberapa risiko yang bisa menyebabkan penurunan pada nilai investasi anda (baca: kerugian). Misalnya peternak yang anda tunjuk ternyata tidak cukup mahir, terjadi wabah penyakit yang menyebabkan cacat pada ternak atau bahkan kematian, kenaikan harga pakan, hingga penurunan harga jual kambing karena persaingan dengan peternakan lain. Intinya, dibalik potensi keuntungan yang mungkin diraih dalam investasi peternakan kambing diatas, terdapat unsur risiko yang tidak bisa diabaikan. Dan memang begitulah, faktor potensi keuntungan sekaligus risiko kerugian merupakan dua sisi mata uang yang tidak pernah bisa dipisahkan dalam setiap kegiatan berinvestasi, apapun bentuknya.

Unsur risiko yang kita bahas diatas juga terdapat dalam investasi pada aset tetap. Bedanya, dalam berinvestasi pada aset tetap, unsur risiko tersebut jauh lebih rendah meski bukan berarti tidak ada sama sekali. Ketika anda beli tanah, maka harganya tidak akan turun kecuali jika terjadi gempa bumi, banjir, atau krisis moneter, tapi disisi lain keuntungan yang ditawarkan juga hanya berupa kenaikan harga saja, dan anda tidak memperoleh kenaikan nilai ataupun kuantitas (Ketika anda beli tanah 1 hektar, misalnya, maka sampai kapanpun tanah itu akan tetap seluas 1 hektar dan gak akan bertambah menjadi 2 hektar. Ini berbeda dengan kambing tadi yang bisa beranak pinak menjadi puluhan bahkan ratusan ekor). Karena itulah investor yang sudah berpengalaman biasanya menempatkan investasinya pada dua macam aset, yakni aset tetap dan aset bertumbuh. Tujuannya selain untuk diversifikasi, juga untuk menekan risiko terjadinya kerugian (aset tetap), namun disisi lain dengan tetap mengejar keuntungan yang substansial (aset bertumbuh).

Investasi vs ‘Investasi’

Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan investasi adalah kegiatan yang paling tidak memenuhi unsur-unsur berikut:

1.             Potensi keuntungan berupa dividen, bunga, atau laba
2.             Potensi keuntungan berupa kenaikan nilai aset, dan biasanya kenaikan harga juga
3.             Usaha yang jelas, dimana modal diputar di usaha tersebut untuk menghasilkan dua macam keuntungan diatas, dan
4.             Risiko kerugian.
Nah, balik lagi ke masalah GTIS diatas, menurut anda apakah itu bisa disebut sebagai investasi? Jelas tidak. ‘Produk Investasi’ yang ditawarkan GTIS tersebut memberikan dividen/bonus minimal 2% setiap bulannya, tapi tidak jelas dari mana pihak GTIS akan memperoleh dana untuk membayar bonus tersebut, selain juga tidak ada faktor risiko yang jelas (malah pake jaminan segala lagi, bahwa bunga yang 2% per bulan itu pasti dibayar, bullshit). Kalau anda baca lagi diatas, salah satu unsur dari kegiatan investasi adalah adanya potensi keuntungan, bukankepastian keuntungan. Bahkan jika anda membeli obligasi yang menawarkan bunga alias fixed income sekalipun, anda tetap saja menanggung risiko tidak memperoleh keuntungan apa-apa atau bahkan mengalami kerugian, jika si perusahaan ternyata tidak bisa membeli/menebus obligasi itu kembali.

Kembali ke GTIS, disisi lain kalau dikatakan bahwa produk investasi yang ditawarkan GTIS adalah investasi pada aset tetap (karena pake emas), lalu kenapa nasabah harus membeli emasnya pada harga yang jauh lebih tinggi ketimbang harga pasaran? Kalau gitu mending beli emas biasa aja ateuh, terus disimpen di brankas dan taroh brankasnya di loteng, beres!

(Btw, terkait membeli aset pada harga yang jauh lebih tinggi ketimbang harga pasaran atau harga normalnya, maka anda juga harus hati-hati dalam membeli aset tetap berupa tanah/properti, jika tujuannya adalah untuk investasi. Belakangan ini banyak sekali pengembang properti yang dengan sengaja menaik-naikkan harga properti yang mereka jual, untuk memberikan kesan bahwa pembeli pasti untung karena harga rumah/apartemen yang mereka beli naik terus. Namun kenaikan tersebut seringkali tidak wajar (tentu saja, namanya juga kenaikan yang dibuat-buat), sehingga sering kejadian si pembeli membeli properti yang bersangkutan pada harga yang kelewat mahal, dan akhirnya dia bukannya untung tapi malah rugi)

Anyway, kasus GTIS diatas, termasuk kasus-kasus penipuan investasi lainnya, memang akan selalu ada sampai kapanpun, selama orang-orang selalu tertarik untuk memperoleh keuntungan besar dalam waktu singkat. So, berikut adalah beberapa tips untuk melindungi anda agar tidak terjebak kasus penipuan yang sama:

Satu, hati-hati dengan tawaran keuntungan yang kelewat besar. Di Indonesia, persentase keuntungan yang wajar untuk investasi dalam bidang apapun, adalah antara 7 hingga 20% per tahun (kita tidak menghitung deposito disini, karena bunga 4.5% per tahun terlalu kecil untuk menutupi penurunan nilai Rupiah karena inflasi), termasuk bunga obligasi biasanya sekitar 10 - 12% per tahun. Okay, penulis tidak menutup fakta bahwa kalau investasi di saham, banyak juga investor yang mampu mencetak keuntungan yang jauh lebih tinggi dibanding 20% per tahun. Namun kalau kita pakai patokan kenaikan IHSG dalam jangka panjang, tepatnya sejak puncak krisis moneter tahun 1998 lalu dimana ketika itu IHSG jatuh ke posisi 276 sebagai titik terendahnya, maka rata-rata kenaikan IHSG dalam lima belas tahun terakhir (1998 – 2013, hingga posisi terbarunya saat ini yaitu 4,825) adalah 19.6% per tahun.

So, jika anda ditawari investasi dengan return yang jauh lebih besar dari 20% tadi, maka hati-hati karena itu kemungkinan merupakan investasi bodong. Karena sejauh yang penulis pelajari, tidak ada instrumen investasi yang menawarkan potensi gain yang lebih tinggi ketimbang investasi di saham (tapi disisi lain, investasi di saham juga merupakan investasi paling berisiko diantara investasi-investasi lainnya). Kalau 'investasi' di forex, bursa berjangka, dll, itu bukan investasi, melainkan trading (tapi di saham anda juga bisa trading kok, meski penulis sendiri lebih suka invest karena lebih santai).

Dua, hati-hati dengan tawaran investasi yang menjanjikan keuntungan/bonus/dividen/bunga yang akan dibayar dalam waktu singkat, dalam hal ini setiap bulan. Wajarnya, investasi jenis apapun menawarkan bagi hasil atau return setahun sekali, dan itu sebabnya perusahaan juga hanya membagi dividen setahun sekali kepada para pemegang saham, atau setahun dua kali untuk perusahaan yang sudah benar-benar mapan.

Tapi memang untuk beberapa jenis investasi ada sedikit perbedaan. Jika anda menabung di bank, bunga yang anda peroleh dibayarkan setiap bulan. Dan jika anda membeli obligasi, maka anda juga akan menerima bunga setiap tiga bulan. Tapi berapa sih bunga tabungan bank dan obligasi? Cuma 2 dan 12% per tahun. Artinya? Perusahaan (atau bank) bisa membayar bunga kepada anda dalam waktu singkat, jika nilai dari bunga itu sendiri sangat kecil. Sementara jika nilainya besar, katakanlah 24% per tahun seperti GTIS diatas, maka sangat tidak wajar jika bunga tersebut bisa dibayarkan setiap bulan.

Tapi GTIS itu tidak seberapa.. Penulis ingat dulu waktu jaman kuliah juga pernah ditawari investasi yang menjanjikan keuntungan yang dibayar tiap minggu, bahkan tiap hari! Sempet percaya juga, tapi untungnya ketika itu penulis gak jadi bergabung karena memang gak punya duitnya.

Tiga, hati-hati dengan tawaran investasi tanpa penjelasan yang mendetail bahwa uang anda akan diputar di usaha apa, termasuk tidak adapenjelasan mengenai risiko kerugian. Tawaran investasi apapun yang hanya fokus pada potensi keuntungan yang akan diterima oleh calon investor, namun tidak ada penjelasan mengenai jenis dan risiko usaha, apalagi sampai menjamin bahwa investasinya pasti untung, maka itu sudah pasti merupakan penipuan. You know, investasi model apapun selalu ada risikonya, termasuk jika anda naruh uang di deposito pun juga ada risikonya, yaitu jika bank yang bersangkutan sewaktu-waktu kolaps (makanya kemudian ada Lembaga Penjamin Simpanan/LPS, tapi itupun hanya bisa menjamin dana nasabah bank sebesar maksimal Rp2 milyar). Jadi jika ada kenalan yang menghampiri anda kemudian mengatakan, ‘Bro, ada peluang investasi nih, dijamin untung! Mau nggak?’ Maka sudah pasti ia berniat menipu anda, entah disengaja ataupun tidak.

Investasi di Saham

Lalu bagaimana dengan investasi di saham? Pada dasarnya, investasi di saham adalah investasi pada aset bertumbuh: Anda membeli saham dengan harapan bahwa nilai aset anda akan naik seiring dengan kenaikan nilai perusahaan yang tercermin pada kenaikan harga sahamnya, plus keuntungan berupa bagian laba bersih yang dihasilkan perusahaan (dividen). Kenaikan nilai perusahaan biasanya berasal dari laba bersih ditahan (retained earnings) yang digunakan untuk menambah modal untuk ekspansi usaha, misalnya bikin kantor cabang baru, mendirikan pabrik baru, merekrut lebih banyak pegawai untuk meningkatkan produksi, dll. Kenaikan nilai perusahaan (yang kemudian tercermin pada kenaikan harga sahamnya) biasa disebut capital gain, dan merupakan sumber keuntungan utama bagi para investor, karena keuntungan dari dividen biasanya sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah modal yang dikeluarkan (biasanya hanya 3% per tahun, kalau mencapai 6% maka sudah sangat bagus).

Namun jangan salah, ternyata di saham juga ada penipuan skema ponzi, meski mekanismenya tidak sepenuhnya sama dengan skema ponzi pada kasus GTIS diatas, yaitu: Sering kejadian harga saham dibuat melambung tinggi oleh pihak-pihak tertentu, sehingga investor/trader yang membelinya memperoleh keuntungan besar dalam waktu singkat, tapi bukan dari kenaikan nilai perusahaan, melainkan dari investor lain yang membeli saham tersebut kemudian. Artinya? Keuntungan yang diperoleh investor yang sudah membeli saham tersebut sejak dari awal, diperoleh dari kerugian yang diderita investor yang membeli belakangan. Saham model begini biasa disebut saham gorengan, dan dari dulu sampai sekarang dan mungkin sampai kapanpun, akan selalu ada saja saham-saham seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar