Senin, 07 Oktober 2013

JAJANAN BERFORMALIN DI ACEH


Nama   : Anita Yuliani
NPM   : 10210895
Kelas   : 4EA05

Formalin saat ini telah menjadi suatu fenomena yang menarik. Bagaimana tidak, hampir setiap hari baik di media cetak maupun elektronik masyarakat Aceh disuguhi dengan isu tentang penyalahgunaan zat kimia berbahaya tersebut.

Awalnya formalin ini hanya digunakan sebatas untuk kepentingan laboratorium terutama untuk bahan pengawetan hewan dan tumbuhan dalam skala lab disamping sering digunakan untuk pengawetan mayat. Namun kini para produsen makanan di Aceh menggunakan formalin sebagai zat aditif, yaitu suatu zat yang sengaja ditambahkan pada makanan dengan maksud untuk mengawetkan dan membuat kenyal berbagai macam produk mereka, terutama pada produk yang dihasilkan oleh industri rumah tangga dikarenakan mereka tidak terdaftar dan tidak terpantau oleh Depkes dan Balai POM setempat. Bahan makanan yang diawetkan dengan formalin biasanya adalah mie basah, tahu, bakso, ikan asin dan beberapa makanan lainnya.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hal ini bisa terjadi di Aceh? Apa alasan para produsen makanan menggunakan zat kimia berbahaya ini kedalam produk mereka? Sebagaimana kita ketahui penambahan formalin dalam makanan ditujukan dengan maksud agar makanan yang dihasilkan bisa bertahan lama. Tahu, bakso dan mie basah bila tidak ditambahkan pengawet hanya bisa bertahan paling lama sampai 40 jam atau 2 hari, sementara kalau makanan tersebut ditambahkan pengawet bisa bertahan cukup lama atau awet hingga 3 atau 4 hari. Jadi secara ekonomi akan menguntungkan, karena bila dalam waktu 2 hari tidak laku terjual, makanan tersebut masih bisa bertahan. Sementara pihak konsumen yang masih belum bisa mengenali dengan pasti produk makanan mana yang mengandung formalin cenderung berperilaku asal pilih dalam membeli, apalagi bila tergiur dengan harganya yang murah maka mereka tidak lagi mengindahkan segi kualitas dari makanan tersebut. Hal inilah yang menjadi faktor utama masih banyaknya penggunaan formalin dalam berbagai produk makanan di Aceh. Sementara alasan para produsen memilih formalin sebagai bahan pengawet makanan adalah karena selain bisa membuat awet juga bisa membuat makanan tersebut lebih kenyal dan tidak lembek. Harganya yang lebih murah dan penggunaannya yang lebih praktis dibandingkan dengan bahan pengawet yang lainnya menjadi penyebab para produsen lebih tertarik menggunakan bahan kimia yang satu ini.

Formalin merupakan bahan berbahaya yang dapat mengancam kesehatan tubuh. Dilihat dari struktur kimianya, formalin memiliki unsur aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan protein, sehingga di dalam tubuh manusia formalin akan menyerang organ tubuh yang banyak mengandung protein, seperti pada lambung.

Terlebih, bila formalin yang masuk ke tubuh itu memiliki dosis tinggi. Gejala yang biasa timbul antara lain sukar menelan, sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, timbulnya depresi susunan saraf, atau gangguan peredaran darah. Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah), dan haimatomesis (muntah darah) yang berakhir dengan kematian.

Mengkonsumsi makanan yang mengandung formalin memang tidak akan menimbulkan efek dalam waktu yang singkat karena kadar formalin yang biasa digunakan dalam makanan cenderung rendah. Namun, apabila makanan berformalin tersebut terus menerus dikonsumsi, tanpa disadari manusia telah menumpuk zat berbahaya tersebut di dalam tubuhnya yang dapat menjadi bibit pencetus berbagai macam penyakit seperti infeksi ginjal, kanker, kecerdasan anak dan penyakit degeneratif lainnya.

Usaha yang paling mendasar yang dapat dilakukan untuk menanggulangi penggunaan formalin dalam makanan di Aceh adalah dengan memberdayakan masyarakat selaku sasaran primer dari promosi kesehatan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara kegiatan penyuluhan kesehatan yang bertujuan untuk mendidik masyarakat Aceh agar tidak memproduksi dan mengonsumsi makanan yang mengandung bahan tersebut. Materi yang diberikan dalam kegiatan penyuluhan ini dapat berupa informasi mengenai bahaya penggunaaan formalin bagi kesehatan masyarakat, cara mengenali produk makanan yang mengandung formalin, manfaat yang dapat dirasakan konsumen dari berperilaku memilih makanan sesuai dengan kualitasnya, bukan dari harga dan penampilan luarnya saja, serta keuntungan yang dapat diperoleh produsen yang memproduksi makanan tanpa formalin (seperti reputasi industrinya di mata masyarakat). Pengetahuan ini diberikan dengan harapan agar masyarakat Aceh tau dan mampu mengubah perilaku buruknya.

Kesimpulan kasus ini adalah sebagai berikut  :
1. Formalin merupakan bahan kimia beracun serta dilarang penggunaannya sebagai bahan tambahan makanan (additive food).
2. Kurangnya pengetahuan masyarakat Aceh tentang bahaya formalin bagi kesehatan, keinginan para produsen makanan untuk meraih keuntungan tanpa mengindahkan kesehatan konsumennya, harga formalin yang murah dan praktis dalam penggunaannya, ciri-ciri produk makanan berformalin yang belum lazim diketahui masyarakat, serta perilaku konsumen yang kurang mengindahkan segi kualitas dalam memilih makanan menjadi penyebab maraknya kasus penggunaan formalin dalam produk makanan di Aceh.
3. Pemberdayaan masyarakat, dukungan sosial serta advokasi terhadap pemerintah dapat dijadikan solusi dalam mengatasi masalah penyalahgunaan formalin oleh produsen makanan di Aceh.

Untuk saran dalam kasus ini adalah    :
Dalam mengatasi maraknya kasus penggunaan formalin pada makanan di Aceh dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Dari pemerintah sebaiknya lebih gencar lagi dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat Aceh mengenai bahaya formalin bagi kesehatan dan cara mengenali produk makanan yang mengandung formalin. Tidak hanya melalui penyuluhan, tetapi dapat juga menggunakan media yang menarik perhatian masyarakat Aceh untuk mengetahui informasi tersebut. Selain itu, pemerintah juga harus lebih ketat dalam mengawasi berbagai macam produk makanan yang beredar di pasaran serta lebih tegas dalam menindak pihak yang terbukti menyalahgunakan formalin. Sehingga mereka menjadi jera untuk menggunakan formalin lagi di dalam produknya.

 Dari pihak masyarakat sebaiknya harus lebih jeli dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi, jangan mudah tergiur dengan produk makanan yang murah dan menarik. Disamping itu, untuk meringankan beban pemerintah dalam mengatasi kasus formalin, masyarakat sebaiknya berperan aktif dalam mengawasi para produsen makanan dan melaporkan kepada pihak berwajib apabila mengetahui produsen makanan tersebut sengaja menggunakan formalin sebagai pengawet produknya. Disamping itu, bagi produsen makanan terutama industri rumah tangga sebaiknya segera mendaftarkan usahanya pada Depkop UKM sehingga mudah untuk dipantau.

Untuk dampak yang lebih positif lagi, sebaiknya para ilmuwan kimia di Aceh dapat melakukan penelitian guna menemukan bahan pengawet makanan yang tidak berisiko bagi kesehatan manusia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang biayanya lebih murah dan kemampuannya pengawetnya sama seperti formalin. Dengan demikian, diharapkan penggunaan formalin dalam makanan di Aceh dapat benar-benar teratasi.

Sumber            :
Anonim, Formalin Bukan Formalitas, www.ciptapangan.com, 2006.
Oktaviandi, Wahyu., dkk, Food and Agriculture, http://www.elisa1.ugm.ac.id,