Rabu, 27 Oktober 2010

Malaysia "Merebut" Kekayaan Indonesia  


Piringan hitam rekaman lagu Rasa Sayange.



Kontoversi lagu Rasa Sayange yang digunakan untuk promosi wisata Malaysia belum berakhir. Bahkan, pemrintah Negeri Jiran telah mematenkan lagu tersebut. Padahal, masyarakat Indonesia mengenal Rasa Sayange sebagai lagu daerah Maluku.
Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia Datok Seri Doktor Rais Yatim seperti dikutip harian The Star menyatakan Indonesia tak akan bisa membuktikan pencipta Rasa Sayange. Guna menghindari kasus tersebut tidak terulang, pemerintah tengah menginventarisir berbagai produk kekayaan intelektual bangsa. Termasuk Rasa Sayange untuk didaftarkan dan dipatenkan oleh negara [baca: Pemerintah Akan Menginventarisir Lagu Indonesia].
Bukti-bukti dicari untuk mendukung klaim Indonesia terhadap Rasa Sayange. Pakar telematika Roy Suryo menemukan tembang itu dalam film dokumenter tentang kehidupan di Batavia atau Jakarta antara 1927 hingga 1940 berjudul Insulide Zooals Het Leeft en Werkt. Rekaman asli film ini tersimpan di Gedung Arsip Nasional, Jakarta Selatan. Lagu Rasa Sayange juga pernah direkam perusahaan rekaman negara Lokananta di Solo, Jawa Tengah pada 1962 bersama sejumlah lagu lainnya [baca: Rasa Sayange Sudah Direkam Tahun 1962].
Penemuan kedua bukti tersebut menunjukkan Rasa Sayange sudah terdokumentasikan sejak 1940-an. Namun, Roy mengingatkan dalam membuktikan klaim lagu itu, Indonesia tidak terjebak oleh permainan Malaysia.
Kasus Rasa Sayange menggugah kesadaran warga untuk peduli dan melindungi kekayaan budaya bangsa dengan cara mematenkannya agar tidak diklaim pihak lain. Pasalnya, tidak sedikit produk, budaya, dan karya anak bangsa dipatenkan pihak lain.
Malaysia juga mengklaim kepemilikian angklung, alat musik tradisional dari Jawa Barat. Pengakuan ini sangat mengagetkan pengelola Saung Angklung Udjo, Taufik Udjo. Padahal ia mengetahui dari orang tuang angklung berasal asli Tanah Pasundan. Meski dibayangi klaim Malaysia, Taufik bertekad membuktikan angklung merupakan kesenian Indonesia. Ia akan terus mengelola Padepokan Saung Angklung Udjo sekaligus memperkenalkan angklung di dalam maupun luar negeri.
Berbicara tentang angklung memang tak lepas dari nama Udjo Ngalagena. Maklum, jasa almarhum terhadap keberadaan musik tradisional asal Tanah Pasundan ini sangat besar. Dia mendirikan pusat pelatihan, pembuatan, dan pergelaran musik angklung. Tidak hanya membuat angklung terkenal di Tanah Air melainkan hingga mancanegara.
Sejak didirikan 40 tahun silam oleh Udjo Ngalagena, Saung Angklung Udjo menjadi salah satu benteng pelestari angklung. Padepokan seni ini senantiasa membuka pintu bagi setiap orang yang ingin belajar angklung, tidak terkecuali orang asing. Menurut Taufik Udjo, salah satu peminatnya adalah Malaysia. Selain mengimpor, Malaysia banyak mengirim warganya untuk belajar angklung.
Malaysia rupanya perlahan-lahan berniat menguasai semua produk Indonesia. Makanan khas Indonesia kini juga menjadi ajang pertikaian dalam masalah hak paten dengan pemerintah Negeri Jiran. Salah satunya rendang dari Sumatera Barat. Makanan asli Minangkabau ini telah dipatenkan Malaysia. Sayang, pemerintah Indonesia kurang cepat menanggapi masalah seperti ini. Rendang yang hendak dipatenkan Pemerintah Provinsi Sumbar sejak 2004 hingga kini belum terlaksana.
Saat menikmati rendang, mungkin tidak terbayangkan proses panjang pembuatannya. Jika berniat memasak rendang Anda harus menyediakan waktu tiga hingga empat jam. Waktu yang lama memang membuat rendang semakin gurih. Ada satu kiat menghasilkan rendang yang gurih dan lezat yaitu menggunakan kayu untuk memasaknya. Bara api dari kayu memang membuat proses memasak menjadi lebih lama. Namun, ini membuat bumbu rendang semakin meresap ke daging. Makanan tradisional ini memiliki empat bahan utama yaitu daging, santan kelapa, cabe dan bumbu.
Dalam budaya Minang rendang memiliki tempat terhormat. Pada upacara pengukuhan seorang datuk, sang pemimpin adat harus menghidangkan rendang. Sayang, hidangan lezat yang biasa disajikan ketika Lebaran ini direbut negara lain, yaitu Malaysia.

Pendapat :
Entah sudah berapa banyak produk budaya dan kesenian negeri ini yang diklaim oleh negara lain, terutama Malaysia. Sebut saja Reog Ponorogo, kain batik, angklung, rendang, Rasa Sayange, hingga terakhir, Tari Pendet yang jelas-jelas milik rakyat Bali. Untungnya baru saja Norman Abdul Halim, produser film dokumenter Malaysia, meminta maaf atas klaim batik dan tari pendet serta menghentikan iklan Enigmatic Malaysia di Discovery Chanel.
Menurut saya, hal ini sebenarnya bisa “dimaklumi” mengingat penduduk Malaysia dulunya adalah orang Indonesia yang kemudian terpisahkan karena imperialisme. Jadi “wajar” bila budaya Indonesia diamalkan di Malaysia dan diturunkan ke generasi mereka selanjutnya. Yang jadi masalah adalah ketika budaya tersebut tidak di-acknowledge dengan jelas sebagai budaya milik Indonesia. Kedua, budaya tersebut dimanfaatkan hanya untuk kepentingan intern Malaysia. Ini tentu tidak bisa dibenarkan.
Dilihat dari sejarahnya, selepas masa Soekarno, hubungan Indonesia-Malaysia sebenarnya relatif mesra. Malaysia juga sangat menyadari bahwa mereka membutuhkan Indonesia. Namun sejak Mahathir Mohamad mencanangkan slogan “Malaysia boleh“, orang-orang Malaysia kemudian menjadi lebih eksklusif dan tidak mau lagi “disamakan” sebagai rumpun Melayu/Indonesia. Satu-dua kasus, orang-orang Indonesia di Malaysia pernah membuat masalah, namun hal ini terlalu dibesar-besarkan. Akibatnya, orang Indonesia kemudian dicap inferior, sampai muncul istilah ejekan “indon“.
Media juga sebenarnya berperan dalam membuat urusan bertetangga ini menjadi kian memanas. Tengok kasus pulau Sipadan-Ligitan. Walaupun dalam sengketa, berdasarkan Undang-undang, kedua pulau itu bukan milik Indonesia—-kendati Indonesia akan diuntungkan seandainya kedua pulau tersebut jatuh ke tangan Indonesia. Namun yang terjadi, media menulis seolah-olah kedua pulau tersebut hilang dari genggaman kita. Tentu saja hal ini menimbulkan persepsi yang berbeda di masyarakat.
Apapun itu, harusnya kasus semacam ini bisa menjadi peringatan. Bangsa ini sepertinya kurang bersyukur. Sudah diberi Tuhan 17 ribu pulau lebih, namun sampai sekarang masih banyak yang belum dinamai. Kita punya begitu banyak kesenian dan tarian yang mempesona, namun tak banyak dari kita yang mau mempelajari dan melestarikan. Papan-papan penunjuk jalan di Jogja banyak yang dituliskan dalam aksara Jawa, tapi berapa banyak anak muda sekarang yang bisa membaca “hanacaraka” itu?
Pemerintah sudah tentu harus bertindak cepat, tegas, namun juga smart. Berbagai produk kesenian dan budaya kita musti didata dan didaftarkan hak miliknya agar tak perlu lagi kecolongan di kemudian hari. Kedua, kita juga tidak boleh kalah dalam memasarkan Indonesia di luar negeri. Harapannya, tentu saja agar orang asing lebih “nyantol” dengan tarian, masakan, maupun produk budaya kita lainnya. Kalau tarian ini, atau kesenian itu, sudah dikenal orang asing, maka sulit bagi bangsa lain untuk mengklaim budaya tersebut sebagai miliknya. Pemerintah juga tidak boleh merasa inferior, karena sesungguhnya bukan kita yang membutuhkan bangsa lain melainkan bangsa lain yang membutuhkan Indonesia.
Untungnya, kasus-kasus pencurian budaya semacam ini juga memberikan blessing in disguise buat kita. Sejak batik diklaim negara sebelah, sekarang banyak instansi yang mewajibkan penggunaan seragam batik di hari-hari tertentu. Anak muda pun tak lagi canggung mengenakan batik karena desain dan motifnya terus berkembang menyesuaikan jaman. Teman-teman di luar negeri pun kian bersemangat dalam mempromosikan budaya Indonesia kepada orang asing. Banyak orang Indonesia yang sebelumnya cuek dengan budaya Indonesia, kini menjadi lebih peduli terhadap nasionalisme dan identitas bangsa ini.
Saya sendiri bangga dan bahagia menjadi bangsa Indonesia. Negeri ini memang masih jauh dari ideal. Namun perjalanan bangsa ini sudah menorehkan sejarah panjang. Kita memperjuangkan sendiri kemerdekaan kita. Beragam suku dan golongan berhasil disatukan dengan susah payah. Seperti kata Hillary Clinton, Indonesia adalah model dunia masa depan, dimana demokrasi, modernitas, dan Islam berada dalam satu wadah yang harmonis. Kita memang masih berkutat soal korupsi, pengangguran, kemiskinan, dan keamanan. Tapi negeri ini punya potensi untuk menjadi besar dan superpower di masa depan. Dan banyak bangsa yang iri denggan potensi yang kita punya.
Sebagai catatan dan renungan akhir, jangan sampai kasus semacam ini justru menjadi maling teriak maling. Kita mengeluh negara lain membajak kekayaan negeri ini. Sementara di sisi lain kita lupa bahwa pembajakan di negeri ini sebenarnya masih cukup tinggi. Jangankan produk software atau musik luar negeri, karya bangsa sendiri saja masih sering dibajak. Bukankah itu juga sesuatu yang cukup memalukan? Ingat bahwa Indonesia adalah bangsa yang bermartabat dan berwibawa.

Sumber :
http://berita.liputan6.com/sosbud/200710/149842/class=%27vidico%27